1432 Tahun yang berlalu Rasullullah S.A.W mengigatkan kita...

Abu Bakar Ibn Abi Maryam melaporkan bahawa beliau mendengar Rasullullah S.A.W telah bersabda: Akan tiba suatu zaman dimana tiada apa yang bernilai dan boleh digunakan oleh umat manusia, maka simpanlah DINAR (emas) dan DIRHAM (perak)untuk digunakan.....Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal.

Jual Beli Simpan Emas merupakan suatu aktiviti yang mampu meningkatkan kekayaan yang kita miliki.Saya adalah DEALER Public Gold JOHOR BAHRU . Jika anda ingin membeli atau menjual emas Public Gold. Sila hubungi saya, HJ. MOHAMMAD NICK :019-7244777 @ eMail : mohdnick.gmail.com MEMBANTU DAN MENYIMPAN NILAI ESET KEKAYAAN SEBENAR…. SIMPANLAH EMAS..


Wednesday, August 28, 2024

MENGENALI IMAM-IMAM MUJTAHID

HUKUM ISLAM PADA MASA IMAM-IMAM MUJTAHID (101 H–350 H / 750 M–961 M) Hukum Islam dan MasaImam-Imam Mujtahid I. PENDAHULUAN Hukum Islam yang telah diyakini oleh umat Islam sebagai hukum yang bersumber dari Allah disampaikan kepada hamba-Nya Muhammad dalam bentuk wahyu, serta tertulis dalam sebuah buku petunjuk. Kitab kumpulan hukum Allah itu disebut dengan Al-quran. Dengan demikian Al-quran merupakan sumber utama dan pertama bagi hukum Islam. Kemudian Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah untuk hamba-Nya dan diberikan otoritas untuk menjelaskan lebih lanjut apa yang telah diwahyukan kepadanya. Olehnya itu sebagai penjelas dari apa yang telah tertulis dalam Al-quran, maka dapat dipahami bahwa al-sunnah, baik itu berupa perkataan, perbuatan dan takrir nabi merupakan sumber kedua sesudah Alquran. Namun diakui juga bahwa Al-quran dan al-sunnah terbatas, baik dalam peristiwa maupun penetapan hukumnya, sementara semakin lama semakin banyak persoalan hidup dan kehidupan manusia dan beraneka ragam pula masalahnya. Berdasarkan hal tersebut, maka hukum Islam telah mengalami perkembangan seiring dengan perjalanan waktu, hukum Islam yang mulai tumbuh dan berkembang sejak masa Rasulullah secara terus menerus. Pertumbuhan dan perkembangannya melintasi satu priode dan masuk ke priode berikutnya. Demikian seterusnya sampai saat sekarang. Pada masa Rasulullah saw, pertumbuhan hukum Islam berlangsung secara baik, hal ini dimungkinkan karena Rasulullah saw merupakan pemegang kuasa pembentukan hukum Islam. Setiap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, nabi sendiri senantiasa siap menghadapi dan mengatasinya kapan saja, lagi pula masih terbatasnya wilayah kekuasaan Islam, sehingga memudahkan setiap adanya salah paham atau salah tafsir mengenai petunjuk-petunjuk nabi, maka persoalan yang muncul langsung mendapatkan penyelesaian dengan segera dari nabi. Pada masa sahabat pertumbuhan dan pembentukan hukum Islam dapat dikatakan belum jauh berbeda dengan zaman Rasulullah saw. Para sahabat berusaha melanjutkan dan menerapkan hukum Islam yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw. Hanya saja karena semakin bertambah luasnya wilayah yang membawa konsekuensi bertambahnya juga permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga para sahabat mengatasinya dengan caranya masing-masing. Demikian pula pada masa-masa selanjutnya hukum Islam dalam pertumbuhan dan perkembangannya memperlihatkan ciri khas untuk setiap zaman. 1) Keadaan dan objektif pertumbuhan hukum Islam pada priode Imam-Imam Mujtahid. 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan hukum Islam pada priode Imam-Imam mujtahid. 3) Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat di antara imam-imam mujtahid. 4) Mazhab empat dan pemikirannya. II. PEMBAHASAN Hukum Islam PadaPriode Imam-Imam Mujtahid Pada masa Rasulullah dan Khulafa’ al-Rasyidin, hukum Islam senantiasa berjalan dengan kebijaksanaan para pemegang penguasa pemerintahan, karena kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan langsung oleh pimpinan negara. Namun ketika pimpinan negara berpindah ke tangan Bani Umayyah, maka perkembangan hukum Islam menunjukkan arah yang berlainan sekali karena pada masa itu lembagaumaradan ulama telah berpisah. Pada masa Bani Umayyah perselisihan sering terjadi sebagai akibat dari adanya petentangan politik dan perebutan kekuasaan yang memberikan pengaruh tidak kecil terhadap perkembangan hukum. Hukum pada hakekatnya menjadi tempat kembali bagi pihak-pihak yang berselisih, namun sejak zaman Muawiyah berubah menjadi alat dan pelindung bagi kepentingan golongan yang sedang berkuasa. Akibatnya tidak dapat diperoleh dari pemegang kekuasaan, sehingga masyarakat mencari ke tempat lain yaitu kepada ulama yang memiliki pengetahuan yang luas tentang Alquran dan sunnah. Kecenderungan masyarakat untuk meminta fatwa kepada ulama, di samping disebabkan sulitnya mendapatkan fatwa hukum yang adil dan benar dan interes politik, juga karena perhatian pemerintahan Muawiyah pada tahun-tahun awal sebagain besar tersita pada urusan-urusan peperangan dengan negara-negara lain, Olehnya itu perkembangan hukum Islam banyak sekali mendapatkan pengaruh dari keputusan-keputusan para qadhi dan fatwa-fatwa para ahli hukum di luar pemerintahan. Keadaan ini telah berubah setelah kekuasaan beralih ke tangan Dinasti Abbasiyah, agama bukan hanya penting bagi negara tetapi justeru merupakan urusan pertama dan utama bagi negara. Dalam kondisi seperti ini maka tidak mengherankan jika para teolog dan ahli agama tampil berkerumun di istana pemerintahan, karena hukum dan administrasi peradilan harus disusun dan dibangun sesuai dengan petunjuk agama. Jadi masa ini segala hal yang menyangkut kelembagaan negara, administrasi peradilan dengan segala macam transaksi harus memenuhi tuntutan dan tuntunan keagamaan. Periode ini di mulai pada awal abad II H. dan berakhir pada pertengahan abad IV H. proses perkembangannya berlangsung sekitar 250 tahun. Priode ini biasa juga disebut ﻋﺼﺮ اﻟﻜﺘﺎﺑﺔ واﻟﺘﺪوﯾﻦ (Masa Penulisan dan Pendewanan) danﻋﺼﺮ اﻟﺘﺠﺮﯾﺪ واﻟﺘﺼﺤﯿﺢ واﺗﻨﻘﯿﺢ (Masa Pemurnian, Penyehatan, dan Penyempurnaan. Pada periode inilah gerakan penulisan dan pembukuan hukum-hukum Islam mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat. Hadis-hadis nabi saw fatwa-fatwa dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’-tabi’in, tafsir Alquran, fiqh para imam mujtahid serta berbagai risalah ilmu ushul fiqh telah dikodifikasi dalam suatu bentuk pembukuan. Jadi pada priode ini merupakan puncak keemasan dalam sejarah pembentukan hukum Islam. Kondisi hukum pada masa itu menjadi satu kesatuan yang independen dan telah berkembang menjadi matang hingga membuahkan perbendaharaan hukum. Olehnya itu pemerintahan Islam, kaya dengan berbagai undang-undang dan hukum-hukum sesuai dengan kekuasaan wilayah dan berbagai macam problematika yang timbul serta banyaknya kemaslahatan yang dipertimbangkan. Hal yang perlu diperhatikan pada priode ini, karena priode ini telah melahirkan 13 orang mujtahid ternama yaitu: Sufyan bin Uyainah di Mekah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan al-Basri di Basrah, Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kufah, AlAuza’i di Syiria, al-Syafi’i dan Laits bin Sa’ad di Mesir, Ishak bin Rahawaih di Naisabur, serta Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Daud Az-Zahiri, Ibnu Jarir di Bagdad. Ketiga belas orang mujtahid inilah pendapatnya telah diikuti oleh jumhur ulama dan mereka diakui sebagai tokoh fiqh dan sebagai panutan. Sehingga masa ini dapat dikatakan juga sebagai puncak kegemilangan ilmu fiqh. B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Hukum Islam Pada Periode Imam-Imam Mujtahid Pengaruh pertumbuhan hukum Islam pada priode ini di antaranya: Perhatian para khalifah terhadap fiqh dan fuqaha. Para khalifah Abbasiyah tidak membatasi perhatiannya terhadap politik saja, sebagaimana pada masa Umayyah, akan tetapi lebih menekankan langkah-langkah agama. Demikian pula mereka tidak meremehkan posisi para fuqaha seperti yang telah dilakukan oleh para khalifah, misalnya Abu Ja’far al-Mansur memberi mereka berbagai hadiah. Al-Mahdi dan khalifah sesudahnya menjauhkan kaum zindiq dan menyiksanya, serta al-Rasyid mengkhususkan Abu Yusuf (salah seorang murid dari Imam bu Hanifah) sebagai teman bergaul. Demikian pula al-Makmun bergaul bersama ulama dalam diskusi ilmiah. Jadi dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa perhatian khalifah terhadap fiqh dan fuqaha ini telah memberikan pengaruh yang jelas dalam pembentukan hukum, terutama situasi yang diorientasikan oleh para hakim, sehingga apa yang dianjurkan oleh para hakim, masyarakat cepat merealisasikan tujuan mereka. Kebebasan Berfikir Kebebasan berfikir yang dialami pada masa ini, sangat besar karena apabila salah seorang di antara mereka berijtihad dalam mengetahui hukum dengan tenang tanpa dibatasi oleh suatu kekuatan yang mengkunkung pendapatnya. Namun yang menjadi sumber rujukannya adalah Alquran dan Sunnah Rasul. Pada waktu itu pemerintah tidak mengharuskan undang-undang khusus dalam pembentukan hukum dan tidak ada mazhab tertentu dalam fiqh, sehingga dalam satu masalah yang dihadapkan kepada para fuqaha akan diperoleh lebih dari satu fatwa hukum, karena masingmasingqadhidan paramuftiberfatwa dengan pendapat hasil ijtihad mereka.Demikian pula orang yang siap berijtihad, mereka mengikutimufti mana saja, karena mazhab belum terbatas dan orang tidak diharuskan untuk mengikuti satu mazhab tertentu. Luasnya Wilayah Kekuasaan Islam Pada priode ini kekuasaan Islam telah meliputi berbagai macam bangsa dengan latar belakang tradisi dan strata sosial serta kepentingan yang berbeda-beda. Wilayah kekuasaan tersebut berkembang luas ke Timur hingga menembus sampai ke negeri Andalusia (Spanyol). Penduduk yang sangat luas ini sudah merupakan keharusan adanya undang-undang yang dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama para qadhi dan gubernur, dengan ketetapan bahwa undang-undang dan pemberian fatwa-fatwa tetap bersumberkan dari syariat. Olehnya itu para ulama berusaha mencurahkan segenap kapasitas kemampuannya mengembangkan seluruh permasalahan yang terjadi kepada sumber-sumber hukum Islam. Karena di suatu negara banyak dipengaruhi oleh adat kebiasaan, seperti di Irak ahli fiqhi dihadapkan adat kebiasaan Persia dan Syiria, al-Auza’i dihadapkan adat kebiasaan dan hubungan sosial yang semuanya bercorak Romawi serta di Mesir alLaits bin Saad dan Syafi’i dihadapkan campuran Mesir dengan Romawi, demikan seterusnya. Jadi para ulama berusaha membersihkan apa yang dihadapinya, sebagiannya diterima dan sebagiannya juga ditolak sampai kehidupan umum daerah itu bercorak Islami, sehingga dikenal banyak hukum-hukum bersumber dari hadis-hadis dan adat, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan hajat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa perundang-undangan dalam Islam tidak mempersempit kebutuhan hidup dan tidak mengurangi kemaslahatan. 4. Pembukuan Ilmu Pengetahuan Pada priode ini Alquran sudah dibukukan dan tersebar luas di kalangan umat Islam. Demikain pula hadis nabi kebanyakan telah dibukukan sejak awal abad ke-2 H. serta fatwa sahabat dan tabi’in juga telah dibukukan. Olehnya itu para imam Mujtahid pada priode ini ketika menghadapi berbagai permasalahan, maka dengan mudah mereka merujuk kepada Alquran dan Sunnah serta fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Di antara ilmu-ilmu yang telah dibukukan dan sangat dibutuhkan fiqhi adalah tafsir dan sunnah. 1. Pembukuan Tafsir Pada masa sahabat diantara penafsir adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Ibnu Mas’ud dan Ubai bin Abbas, mereka ini menafsirkan ayat Alquran dan terkadang Juga menjelaskan sebab turunnya. Dengan sandaran yang mereka dengar dari Rasulullah. Lalu pada masa tabi’in mereka meriwayatkan dari sahabat. Demikianlah setiap tingkatan meriwayatkan dari para pendahulunya dan menambahkan apa yang dihasilkan ijtihad mereka. Kemudian hal ini menyebabkan para ulama berorientasi pada pengumpulan tafsir dan setiap ulama pada masing-masing daerah mengumpulkan riwayat yang diketahui tokoh daerahnya, sebagaimana yang dilakukan penduduk Mekah terhadap tafsir Ibnu Abbas. Penduduk Kufah terhadap tafsir Ibnu Mas’ud. Pada masa Abbasyiah, para ulama mulai menyusun tafsir berdasarkan susunan ayat, diantaranya tafsir Ibnu Jurais, tafsir As-Sudiy, tafsir Muhammad bin Ishak dan sebagainya. Sayangnya tafsir tersebut tidak sampai kepada kita secara asli, namun isi kandungannya ditulis oleh Ibnu Jarir al-Tabari. Dalam kitabnya yang terkenal tafsir al-Thabari, merupakan satu kitab tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu. Jadi pada periode ini pada dasarnya bukan hanya Alquran telah dibukukan akan tetapi tafsir-tafsir Alquran juga banyak telah dibukukan, hal ini memudahkan memahami sumber hukum. Karena diketahui juga bahwa pada masa Abbasyiah ilmu yang timbul dengan berbagai macamnya, seperti nahwu, sharaf, tarikh dan lainnya yang membantu memahami isi kandungan Alquran. Pembukuan Sunnah Rasulullah. Pembukuan sunnah ini resmi dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan orang yang pertama-tama mengumpulkan hadis tersebut adalah Abu Bakar Muhammad bin Amir bin Hazim dan Ibnu Syihab al-Zuhri yang mengumpulkan hadis yang ada di Madinah. Sejak masa itu dimulai pembukuan hadis yang merupakan materi pokok fiqhi lalu dilanjutkan para ulama, seperti Ibnu Juraij di Mekah, Anas bin Malik di Madinah dan Rabi’ bin Shabih di Basrah. Hanya saja bukan semata-mata hadis yang dikumpulkan tetapi masih bercampur dengan pendapat sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in. Pada akhir abad II lalu diriwayatkan hadis hanya semata-mata dari nabi, dalam bentuk musnad seperti musnad Ahmad bin Hanbal, kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya yang berusaha membedakan antara hadis sahih dan daif. Lalu mereka menyusun hadis berdasarkan bab fiqhi. Mereka yang melakukan hal ini seperti para tokoh yang enam yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i. Buku-buku mereka dikenal denganﻛﺘﺐ اﻟﺴﺘﺔ Pada periode ini muncul tokoh-tokoh yang memiliki bakat dan kemampuan yang didukung oleh situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum Islam semakin berkembang, seperti Abu Hanifah (150 H/767 M), Malik (179 H/798 M), Syafi’i (204 H/820 M), dan Ahmad bin Hanbal (241 H/955 M) serta sahabat mereka dan tokohtokoh lainnya yang semasa dengan mereka26. Keempat tokoh inilah yang besar pengaruhnya dalam periode ini. Setelah terjadinya pembukuan tafsir dan sunnah, maka sumber-sumber hukum Islam pada periode pembukuan ini ada 4 (empat) : 1. Alquran 2. Sunnah 3. Ijma’ 4. Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu metode istinbath Apabila seorang mufti mendapatkan ketetapan hukum pada suatu masalah dalam Alquran atau sunnah, maka dia harus berpedoman kepada ketetapan nash tersebut, kalau tidak didapatkan dalam Alquran dan sunnah, namun dia mengetahui ketetapan hukumnya berdasarkan ijma’ para mujtahid, maka dia harus berpegang dan memberi fatwa hukum berdasarkan ijma’ tersebut. Apabila tidak didapatkan dari Alquran, sunnah dan ijma’, maka barulah mereka berijtihad dan beristinbath sesuai dengan petunjuk syariat. C. Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Para Imam Mujtahid Perbedaan pendapat mengenai penetapan perundang-undangan dikalangan para imam mujtahid itu berpangkal pada beberapa masalah diantaranya : 1. Perbedaan pendirian tentang kedudukan sumber-sumber hukum termasuk: a. Hadis segi-segi yang dipersilisihkan adalah tingkat originalitas dan validitas sebuah hadis baik ditinjau dari segi sanad, rawi maupun matannya. b. Perbedaan pendapat tentang sumber hukum selain Alquran dan hadis, termasuk fatwa sahabat,qiyas, istihsan, maslahah mursalahdan lain-lain. 2. Perbedaan prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam meneliti hukum-hukum syariat danuslub-uslubbahasa Arab. 3. Lokasi atau lingkungan tempat tinggal ahli hukum. Perbedaan lokasi yang sangat mempengaruhi ditetapkannya hukum, kebiasaan adat setempat yang telah lama berakar tidak bisa diabaikan begitu saja. Dari perbedaan lokasi inilah menimbulkan dua kelompok yang berbeda dalam menetapkan hukum yaitu: a. Ahl al-ra’yi, aliran ini timbul karena sedikitnya hadis yang tersebar di wilayah tempat fuqaha berada dan masyarakat yang dihadapi adalah masyarakat majemuk, sehingga menyebabkan fuqaha di daerah tersebut banyak memecahkan persoalan dengan akal(ra’yu). b. Ahl al-Hadis, aliran ini timbul dari daerah yang banyak tersebar hadis di daerah tersebut seperti Madinah sampai ke Hijaz. Perlu diingat bahwa terpolarisasinya dalam dua kelompok bukan berarti mujtahid Irak yang rasional dalam menetapkan hukum tidak berdasarkan hadis-hadis sementara Hijaz tidak mempertimbangkan alasan rasio-rasio dalam menetapkan hukum, keduanya sepakat bahwa hadis-hadis nabi merupakan dasar hujjah ketika menghadapi ketetapannashnya. 4. Pandangan dan metode Persyaratan penerimaan hadis bagi ahl-al sunnah salah satunya adalah, apakah perawinya adil dan dhabit (cermat) sampai ke akhir sanad tanpa adanya kelainan atau cacat, baik itu dari ahl al-bayt atau bukan. Sedangkan mazhab Syi’ah selalu mengutamakan hadis yang diriwayatkan olehahl al-bayt. Gradasi antara kecenderungan-kecenderungan inilah yang mengakibatkan timbulnya aliran-aliran pemikiran yang berbeda-beda, terutama di dalam detail-detail keputusan tertentu. Aliran-aliran pemikiran itu kemudian disebut dengan mazahib (tunggal: mazhab)yang berarti “arah”, “tata cara”, “aliran fikiran”. D. Mazhab Empat dan Pemikirannya Dalam khasanah fiqhi dikenal empat mazhab yang sangat populer. Mazhab-mazhab itu lahir dari mujtahid-mujtahid besar pada priode ini. Mereka itu adalah Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafiah), Imam Malik (Mazhab Maliki), Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i), dan Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali) 1. Imam Abu Hanifah (80 H–150 H / 697 M–767 M) Nama lengkapnya adalah al-Nu’man bin Tsabit, lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H di Bagdad. Ia termasuk keturunan bangsawan Persia yang merdeka. Abu Hanifah termasuk pengikut tabi’in dan menerima ilmu fiqhi dari Hammad bin Abi Sulaiman dari Ibrahim al-Nakha’iy dari al-Qamah bin Qais dari Ibnu Mas’ud.32 Pada tahun 96 H, beliau melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya di Mesjidil Haram dan bertemu dengan Abdullah bin Haris bin Juz’i, seorang sahabat dan ia mendengar hadis : 33ﻣﻦ ﻧﻔﻘﮫ ﻓﻲ دﯾﻦ ﷲ ﻛﻔﺎه ﷲ ﻓﮭﻤﮫ ورزﻗﮫ ﻣﻦ ﺣﯿﺚ ﻻ ﯾﺤﺘﺴﺐ Abu Hanifah seorang yang cerdas dan cakap dalam berdebat. Metode belajar mengajar di kalangan para muridnya adalah metode diskusi. Ia mengawali kajiannya dengan melontarkan suatu masalah lalu mendiskusikannya bersama-sama sehingga melahirkan pandangan sebagai jawaban terhadap masalah yang diajukan sebelumnya. Metodologi penetapan hukum yang ditempuh oleh Abu Hanifah adalah sebagaimana yang diungkapkannya sendiri sebagai berikut : Sesungguhnya saya berpedoman kepada Alquran, jika saya tidak mendapatkannya dari Alquran, maka saya berpedoman pada sunnah rasul dan atsar-atsar yang sahih dan yang terdapat di kalangan orang tsiqah (adil dan dhabith). Bila Alquran dan sunnah tidak saya temukan, maka saya beralih kepada keterangan para sahabat jika saya kehendaki dan meninggalkan pendapatnya jika saya kehendaki. Kalau suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam Alquran, sunnah dan pendapat para sahabat, maka saya berijtihad sebagaimana halnya Ibrahim al-Nakha’iy, al-Sya’biy, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Said bin Musayyab berijtihad.Sahal bin Muzahib pernah berkata: Abu Hanifah suka memperhatikan adat istiadat dan hal ihwal orang banyak. Ia memecahkan berbagai problematika dengan jalanqiyas, apabila jalan itu terasa kurang tepat, maka beliau menempuh jalan istihsan, jika metode inipun tidak dapat ditempuh, maka beliau mengembalikan urusan itu kepada apa yang telah dilakukan oleh kaum muslimin. Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa metodologi istinbath hukum yang ditempuh oleh Abu Hanifah adalah : - Alquran - Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih serta telah mashur di antara ulama. - Fatwa para sahabat. - Qiyas - Istihsan - Adat yang berlaku dimasyarakat Atas dasar metodologi penetapan inilah, sehingga fiqhi dan ilmu ushul fiqh mengalami perkembangan dan kemajuan baru. 2. Imam Malik bin Anas (93 H–173 H / 712 M–792 M) Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas al-Ashbahiy, nisbah pada Ashbah merupakan salah satu kabilah di Yaman, salah seorang kakeknya datang ke Madinah dan tinggal di sana. Kakeknya bernama Abu Amir termasuk salah seorang sahabat nabi dan mengikuti perang bersama beliau kecuali perang Badar. Malik lahir di Madinah pada tahun 93 H.36 Ia belajar kepada ulama Madinah, termasuk Nafi bin Abi Nu’aim, Ibnu Syihab al-Zuhri, Abul Zinad dan lain sebagainya. Sedang yang menjadi murid-muridnya adalah asy-Syaibani, Imam Syafi’i, Yahya bin Yahya al-Andalusia, Abdurrahman bin Kasim di Mesir serta As’ad al-Furat at-Tunisi. Dia seorang ahli hadis sekaligus ahli fiqhi. Selanjutnya pada tahun 140 H. Imam Malik membukukan kitabnya yang bernama alMuwaththa atas intruksi Abu Ja’far al-Mansur. Buku ini di samping buku hadis juga sekaligus buku fiqhi. Hanya saja dalam kitab tersebut masih bercampur antara hadis nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in. Pemikiran Imam Malik dalam bidang hukum Islam sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, yaitu Madinah sebagai pusat timbulnya sunnah Rasulullah dan sunnah sahabat. Sehingga pemikiran hukumnya banyak berpegang kepada sunnahsunnah tersebut, kalau terjadi perbedaan satu sunnah dengan yang lainnya, maka ia berpegang pada tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Madinah. Imam Malik mendahulukan amalan penduduk Madinah daripada hadis ahad, kalau terjadi perbedaan antara keduanya. Karena penduduk Madinah itu mewarisi apa yang mereka amalkan dari ulama salaf mereka, kemudian ulama salaf itu mewarisi dari para sahabat. Olehnya itu amalan penduduk Madinah lebih kuat daripada hadis ahad. Sedangkan Imam Syafi’i dan sebagian dari imam mujtahid lainnya berbeda pendapatnya, karena sunnah itu kebanyakan dibawa oleh sebagian sahabat ke berbagai kota yang sudah ditaklukkan oleh umat Islam. Sunnah seluruhnya tidak terbatas pada amalan penduduk Madinah. Selain itu Imam Malik juga merujuk kepada metode qiyas (analogi). Selain itu juga banyak persoalan hukum dibangun dengan metode maslahah mursalah. Mujtahid yang banyak memakai metode ini adalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sebagai contoh: dibolehkannya pembedahan perut jenazah seorang ibu untuk mengeluarkan janinnya, apabila janinnya itu punya harapan untuk hidup.Dari pemikiran Imam Malik tersebut, maka dalam menentukan hukum adalah sebagai berikut : - Alquran - Sunnah - Ijma’(kesepakatan penduduk Madinah) - Qiyas - Maslahah Mursalah Mazhab ini timbul dan berkembang di Madinah lalu ke Hijaz sampai ke Mesir, Magribi (Maroko) dan Andalus di Spanyol. Sehingga negara-negara yan meminati mazhab ini banyak menghadiri kajian-kajian Mazhab Malik. Buku-buku yang dikaji selain al-Muwaththa’ juga al-Mudawwanah yang merupakan kitab dasar fiqhi Mazhab Malik. 3. Imam Syafi’i (150 H–204 H / 767 M–820 M) Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i al-Quraisy. Ia juga sering dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang anaknya bernama Abdullah. Nasab keturunannya bersambung dengan nabi pada nama Abdi Manaf dari pihak bapak. Sedang dari ibunya adalah cicit dari Ali bin Abi Thalib. Jadi kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisy. Ia lahir di Ghazzah Palestina pada tahun 150 H. ayahnya meninggal ketika Imam Syafi’i masih kecil sehingga diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kehidupan yang sangat sederhana bahkan banyak menderita kesulitan, tetapi ia terpelihara dari akhlak tercela dan perbuatan buruk. Dalam usia 10 tahun, ia telah menghafal Alquran, setelah itu mengarahkan perhatiannya untuk menghapal hadis dari gurunya, lalu ia pun mendalami bahasa Arab untuk menjaga dirinya dari pengaruh bahasa asing yang sedang melanda bangsa Arab sampai ia ahli dalam bahasa Arab, kesusasteraan serta mahir dalam membuat syair. Syafi’i adalah profil ulama yang tidak pernah puas dalam menuntut ilmu, semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakan banyak yang tidak diketahui. Metodologi penetapan hukum menurut Imam Syafi’i adalah sebagai berikut : - Alquran dan al-Sunnah - Ijma’ - Fatwa sahabat yang disepakati - Fatwa sahabat yang diperselisihkan - Qiyas - Istidlal Dasar pertama dalam menetapkan hukum adalah Alquran dan sunnah. Alquran dan sunnah ditempatkan sejajar, karena baik Alquran maupun al-sunnah datang dari Allah sekalipun berbeda cara dan sebab datangnya. Mengenai hadis ahad, Syafi’i tidak mewajibkan syarat kemashuran; alasannya bahwa Allah telah memerintahkan beriman kepada-Nya dan rasul-Nya, dengan konsekwensi wajib mematuhinya baik dalam perkataan, perbuatan maupun takrirnya. Hal tersebut didasari dengan firman Allah swt. إﻧﻤﺎ اﻟﻤﺆﻣﻨﻮن اﻟﺬﯾﻦ آﻣﻨﻮا ﺑﺎﷲ ورﺳﻮﻟﮫ وإذا ﻛﻨﻮا ﻣﻌﮫ ﻋﻠﻲ اﻣﺮ ﺟﺎﻣﻊ ﻟﻢ ﯾﺬھﺒﻮا ﺣﺘﯿﺴﺘﺆذﻧﻮه … (٦٢ )ا ﻟﻨﻮر Hadis ahad tidak dipersoalkan untuk dijadikan sandaran, selama yang meriwayatkannya dapat dipercaya, teliti dan sanadnya bersambung kepada Rasulullah. Dasar kedua adalah ijma’, jika ijma’ belum juga didapatkan, maka beliau beralih ke fatwa sahabat yang disepakati, apabila fatwa sahabat yang disepakati belum juga didapatkan maka beliau beralih pada fatwa sahabat yang diperselisihkan. Setelah itu barulah menempuh jalan qiyas bila keadaan telah memaksa. Apabila tidak dijumpai dalil qiyas, maka ia memilih jalan istidlal, yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaedah-kaedah umum agama Islam. Jadi Imam Syafi’i sangat memperhatikan beramal dengan hadis ahad yang sahih, sehingga penduduk Bagdad memberi gelar “Nashiru Sunnah” (penolong sunnah). Imam Syafi’i termasuk profil ulama yang tekun dan berbakat dalam menulis karangan yang terkenal antar lain (1) al-Risalah yang khusus membahas dasar-dasar pengetahuan tentang ushul fiqhi. (2) al-Umm, sebuah kitab fiqhi yang menjadi dasar mazhab Syafi’i. (3) al-Musnad, berisi tentang hadis-hadis nabi yang dihimpun dari kitabal-Umm. 4. Imam Ahmad bin Hanbal (164 H–241 H / 780 M–855 M) Nama lengkapnya Ahmad bin Hanbal al-Syaibani al-Marwaziy, lahir di Marwah pada tahun 164 H (780 M) dan wafat pada tahun 241 H (855 M) di Bagdad, ibunya pindah ke Bagdad sewaktu ia masih kecil. Beliau berusaha mengumpulkan sunnah dan menghafalnya hingga menjadi ahli hadis pada masanya. Imam Bukhari dan Imam Muslim pernah belajar hadis kepadanya. Ia telah menyusun kitab hadis yang disebut musnad yang sangat populer dengan nama musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang terdiri dari 6 jilid dan diterbitkan di Mesir.Ahmad bin Hanbal belajar fiqhi dari Imam Syafi’i dan menyertainya selama ia tinggal di Bagdad. Ahmad bin Hanbal termasuk imam mujtahid hanya lebih cenderung kemuhaddisannya daripada kefaqihannya. Dasar-dasar penetapan hukum Imam Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut : - Nashyaitu Alquran dan hadismarfu’ - Fatwa sahabat yang tidak diketahui ada yang menentangnya - Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih pendapat mereka kepada yang dekat pada kitabullah dan sunnah - Hadis mursal dan dhaif, yang dianggap lebih kuat dari pada qiyas. Akan tetapi hadis mursal dan dhaif dapat dijadikan dasar hukum selama tidak ada dalil lain, dan tidak termasuk hadis munkar dan tertuduh pendusta perawinya - Qiyas, jika keempat tersebut tidak dapat ditemukan barulah beralih kepada qiyas. Jadiqiyasdilakukan karena keterpaksaan. Landasan ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal tidak jauh berbeda dengan prinsip Imam Syafi’i, hal ini dimungkinkan karena ia belajar fiqhi dari Imam Syafi’i. III. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan oleh penulis, maka kesimpulan dari tulluisaini adalah sebagai berikut: 1. Setelah terjadinya peralihan kekuasaan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyyah, maka pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam semakin memperoleh peluang yang sangat besar dari penguasa dan kebebasan dalam berpendapat, sehingga banyak karya yang lahir pada priode tersebut. Priode Imam Mujtahid adalah masa permurnian, penyehatan, dan penyempurnaan dan masa penulisan dan pendewanan. Dengan demikian priode ini merupakan puncak keemasan dalam sejarah pembentukan hukum Islam. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan hukum Islam pada priode ImamImam Mujtahid adalah antara lain : a. Perhatian para khalifah terhadap fiqhi dan fuqaha b. Kebebasan berfikir dalam berijtihad. c. Luasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi berbagai macam bangsa dengan tradisi dan strata sosial serta kepentingan yang berbeda-beda. d. Pembukuan ilmu pengetahuan; antara lain pembukuan tafsir, sunnah, pendapat para sahabat, dan fatwa-fatwa tabi’in. 3. Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para imam mujtahid antara lain : a.Perbedaan pendirian tentang kedudukan sumber-sumber hukum. b.Perbedaan prinsip yang dipergunakan dalam meneliti hukum-hukum syariat danuslub-uslubbahasa Arab. c.Lokasi atau lingkungan tempat tinggal ahli hukum. d.Pandangan danmetode yang digunakan oleh para imam mujtahid. 4. Priode ini telah melahirkan banyak mujtahid, namun ada 4 imam yang paling terkenal dan namanya mendunia hingga saat ini, mereka itu adalah: Imam Abu Hanifah dengan Mazhab Hanafiyah, Imam Malik bin Anas dengan Mazhab Malikiyah, Imam Syafi’i dengan mazhab Syafi’iyah dan Imam Ahmad bin Hanbal dengan Mazhab Hanbali.

No comments:

Post a Comment